Dalam heningnya jiwa yang merindu, setiap detik kehidupan adalah anugerah, setiap tindakan adalah jembatan menuju Ilahi. Mengapa kita, para musafir di jalan ruhani, diwajibkan mengucap Basmalah sebelum memulai sesuatu? Ini bukan sekadar ritual bibir, melainkan sebuah gerbang agung, sebuah ikrar batin yang meresap ke sanubari, menuntun setiap gerak kita pada Cahaya-Nya. Dalam nuansa sufi, Basmalah adalah napas pertama dari tarian zikir yang tak berkesudahan, mematri kesadaran bahwa segala daya dan upaya hanyalah pantulan dari kekuatan-Nya Yang Maha Agung.
Dalil akan keutamaan basmalah ini terpancar jelas dari sabda Rasulullah ﷺ:
“كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر.”
(Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan “Bismillahirrahmannirrahim”, maka ia terputus/kurang berkah.)
(HR. Abu Daud dalam kitab al-Marāsil dari Az-Zuhri, dan juga terdapat dalam riwayat Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan redaksi yang serupa).
Kutipan ini, dalam pandangan seorang sufi, bukan hanya peringatan akan hilangnya berkah, tetapi lebih dalam lagi, ia adalah cerminan dari keterputusan ruhani. Segala sesuatu yang kita lakukan, bila tidak diawali dengan Basmalah, bagaikan sebuah lukisan indah yang belum selesai, sebuah melodi yang terhenti di tengah jalan. Ia “terputus” dari sambungan ilahiah, dari arus rahmat dan bimbingan-Nya yang tak terbatas.
Bagi penempuh jalan sufi, Basmalah adalah penghubung kesadaran. Saat bibir melafalkan “Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,” hati secara otomatis diajak untuk hadir, mengakui bahwa segala daya bukan milik kita. Kekuatan untuk mengangkat tangan, akal untuk berpikir, niat untuk berbuat—semuanya bersumber dari Dia. Ini adalah pengosongan diri dari keakuan, dari ilusi kekuatan pribadi yang seringkali menjebak manusia dalam kesombongan. Dengan Basmalah, kita meletakkan seluruh beban, harapan, dan keterbatasan kita di hadapan Sang Pencipta, membiarkan kehendak-Nya yang sempurna membimbing setiap langkah.
Lebih dari itu, Basmalah adalah talisman perlindungan. Dunia ini penuh dengan gejolak, godaan, dan bisikan yang menyesatkan. Ketika kita memulai sesuatu dengan menyebut Nama-Nya, kita secara simbolis berlindung di bawah naungan Asma-Nya yang Suci. Ini adalah benteng ruhani yang melindungi niat kita dari kotoran syahwat dan riya, menjaga perbuatan kita dari melenceng dari jalan kebenaran. Dalam setiap Bismillah, ada doa agar Allah memberkahi usaha kita, menjaganya dari hal-hal yang tidak disukai-Nya, dan mengarahkannya menuju kebaikan yang sejati. Seorang sufi memahami bahwa perlindungan terbaik bukanlah dari benteng fisik, melainkan dari ikatan hati yang tulus dengan Sang Maha Pelindung.
Basmalah juga adalah pintu keberkahan. Berkah, dalam pandangan sufi, bukanlah sekadar penambahan kuantitas, tetapi kualitas yang mendalam. Sebuah amal yang kecil bisa memiliki dampak yang sangat besar dan pahala yang berlipat ganda bila dibasahi dengan berkah ilahiah. Sebaliknya, pekerjaan besar yang dilakukan tanpa Basmalah bisa terasa hampa, lelah, dan tidak membawa ketenangan jiwa. Ketika kita bersandar pada nama Allah, seolah-olah kita mengundang energi positif dari alam semesta untuk menyertai tindakan kita, membuka pintu-pintu kemudahan, dan melapangkan jalan menuju kesuksesan yang haqiqi—sukses yang juga membawa ketenteraman batin.
Pada akhirnya, mengucap Basmalah adalah manifestasi dari adab seorang hamba kepada Rabb-nya. Ini adalah pengakuan kerendahan hati di hadapan keagungan-Nya, sebuah bentuk penyerahan diri total (tawakkal) sebelum melangkah. Setiap “Bismillah” adalah pengingat bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju-Nya, dan setiap aktivitas adalah ibadah jika diniatkan karena-Nya. Dengan demikian, Basmalah bukan hanya kalimat pembuka, tetapi jiwa dari setiap permulaan, mengikat kita pada sumbu kosmik cinta dan penyerahan diri kepada Sang Maha Ada.